• Islam Itu Sandarannya Kepada Qur’an dan Sunnah, Bukan Ajaran yang Bersumber dari Tokoh

    Adanya tuduhan sebagai aliran Muta’zilah oleh pihak yang tidak suka kepada MTA sesungguhnya tak lebih dari sikap dengki atau ketidakmengertiannya terhadap majelis ilmu ini.         


    ereka lebih memilih menjadi pengamat keberagamaan dari pada masuk dan memeluk agama dengan seyakin –yakinnya.Artinya sikap yang hanya mengamati tanpa yakini hanya akan menlahirkan hati yang keras terhadap suatu perbedaaan pemahaman.
    Dan penggolongan MTA kedalam Muta’ziah merupakan perbuatan yang ngawur , tidak menyenangkan, serta perlu adanya pelurusan agar masyarakat tidak menjadi bingung.
    Sebagaimana yang menjadi spirit warga ngaji di MTA yakni ingin kembali kepada pengalaman agama yang murni berdasar Al-Quran Sunnah. Tentunya semangat ini merupakan wujud pelaksanaan agama sebagai amanat Rusulullah, yakni agar memegang islam laksana mengigit pakai graham (dengan kesungguh-sungguhan yang mantab).Pasalnya Nabi  Pernah berkata bahwa untuk selamat dunia akherat harus berpegang kepada dua perkara yang diwariskan nabi, yakni Qur’an dan Sunnah.Nah agar nilai- nilai Islam yang murni itu bisa tersampaikan kepada umat Isam yang lain.Maka dipaerlukan dakwah, dakwah akan kuat mana kala dibarengi dengan jamaah.Tujuan adanya dakwah tentunya terciptanya wujud pengalaman praktis dalam kehidupan sehari-hari bagi umat Islam.
    Dalam konteks ini jelas bahwa MTA tidak memiliki ajaran yang dibuat-buat, melainkan bersandar terhadap apa diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW , bukan Muhammad-Muhammad yang lain, bukan pula golongan-golongan yang lain. Jalan lurus itu jelas mengikuti AL-Qur’an dan Sunnah. Apa yang dibutuhkan umat itu adalah wujud pengalaman islam secara praktis, bukan hanya teori-teori yang justru akan menyesatkan dan membingungkan umat Islam itu sendiri.Sebab berkhayal dengan teori-teori atau pemahaman orang justru akan sulit untuk menyatukan umat Islam.Bahkan lebih ekstrem lagi, bahaya mengamati keberagamaan bisa menjadikan seseorang melepas keimanannya, entah menjadi liberal bahkan kafir.Contohnya banyak, di Program Studi Perbandinga Agama atau Aqdah Filsafat, tak sedikit orang yang “puyeng” dengan bahasan materi tersebut justru menjahtukan diri dalam penyimpangan (liberal atau kafir)



    Situasi politik / sosiopolitik dan ekspansi wilayah turut mempengaruhui                                            pertumbuhan pemahaman Islam pasca Nabi 


    Nah,adanya kaum ( Islam ) yang terpeah-becah menjadi beberapa golongan tersebut sesungguhnya makin membuktikan bahwa apa yang disampaikan Nabi segalanya adalah kebenaran, kanera Nabi dibimbing oleh Wahyu dan bersifat Maksum.Andai ada yang salah dari sikap Nabi, Allah langsung menegur dengan turunnya Wahyu.
     Adanya Mutakzilah tentu saja merupakan konsekunsi dari kondidi umat Islam yang sangat beragam dan terjadinya frengmentasi setelah Nabi Wafat.Sejarah kemanusaian dan politik turut mewarnai kondisi umat Islam pasca Nabi, dimana umat Islam tidak lagi mendapat bimbingan Wahyu secara langsung tetapi mulai menginteprestasi Al-Qur’an secara berbeda-beda yang pada gilirannya melahirkan pemahaman yang berbeda pula, termasuk munculnya aliran Mutakzilah.
    Secara umum aliran Mu’tazilah melewati dua fase yang berbeda.Fase Abbasiyah (100 H – 237 M) dan Fase Bawaihi (334H).Generasi Pertama mereka hidup dibawah pemerintahan Bani Umayah untuk waktu yang tidak terlalu lama.Kemudian menemui zaman awal Daulah Abbasyiah dengan aktivitas, gerak,  teori, diskusi dan pembelaan terhadap agama, dalam suasana yang dipenuhi oleh pemikiran baru.Dimulai di Basrah, kemudian di sini berdiri cabang sampai ke Baghdad.Orang-orang Mu’tazilah Basrah bersikap hati-hati dalam menghadapi masalah politik, tetapi kelompok Mu’tazilah Baghdad justru terlibat  jauh dalam politik.Mereka ambil bagian dalam menyulut dan mengobarkan api inquisisi bahwa “Al-Qur’an adalah makhluk”.
    Memang pada awalnya Mu’tazilah menghabiskan waktu sekitar dua abad untuk tidak mendukung sikap bermazhad, mengutamakan sikap netral  dalam pendapat dan tindakan.Konon ini merupakan salah satu sebab mengapa mereka disebut Mu’tazilah.Mu’tazilah tidak mengisolir diri dalam menanggapi  problematika imamah –sebaga i sumber perpecahan pertama-tetapi mengambil sikap tengah dengan mengajukan teori “al manzilah bainal manzilatain”.
    Semua aliran dalam teologi Islam, baik Asy’ariah, Maturidiah, apalagi Mu’tazilah sama-sama mempergunakal akal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teologi yang timbul dikalangan umat Islam.Perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah dalam derajat kekuatan yang diberikan kepada akal.Kalau Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat, Asy’ariah sebaliknya berpendapat  bahwa akal menpunyai daya yang lemah.
    Semu aliran itu berpegang kepada Wahyu, dalam hal ini perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu hanyalah perbedaan dalam interprestasi mengenai teks ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist.Perbedaan dalam interprestasi inilah yang kemudian menimbulkan aliran-aliran yang berlainan dalam kalangan umat Islam seperti yang tersebut diatas.Mu’tazilah mempunyai lma ajaran dasar, seperti Ke-Esaan Tuhan, Keadilan dan sebagainya.Perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat, diangap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu’tazilah saja, tetapi oleh golongan-golongan umat Islam lainnya.

    Aliran kaum Mu’tazilah bagi sebagian umat Islam dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari ajaran Islam, dan dengan demikian tak disenangi oleh sebagian umat Isalm, terutama di Indonesia.Pandangan demikian timbul karena kaum Mu’tazilah dianggap tidak percaya kepada Wahyu dan hanya mengakui  kebenaran yang diperoleh rasio.Namun, sebagaimana diketahui dalam bahasan akademis, kaum Mu’tazilah tidak hanya memakai argumen rasional, tetapi juga memakai ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist untuk menahan pendirian mereka.(dw)


    Tidak ada komentar:

    Write a Comment


    Top